Wednesday, June 5, 2013

Berempati dan Saling Membantu

Sore itu udara cerah sekali. Anugrah dan Kasih bermain bersama beberapa teman. Mereka berkejar-kejaran, naik sepeda, bermain mobil-mobilan, memanjat pohon dan lain-lain. 

Ketika waktunya berpisah, anak-anak kembali ke rumah masing-masing. Anak-anak melanjutkan aktivitas mereka di rumah, sementara bunda menyiapkan makan malam.

Tiba-tiba di depan rumah terdengar orang memanggil. Ternyata ibu dari salah seorang teman Nugrah masih di sana bersama anaknya. Saya segera keluar rumah dan bertanya, "Ada apa, bu?" Lalu dijawab, "Ada yang lihat mainan G? katanya tadi dimainkan oleh J." Terlihat wajah G (anak ibu itu) sangat sedih. Mendengar itu saya mengajak anak-anak untuk mencari mainan itu bersama-sama.

Kami menyusuri tempat-tempat mereka bermain tadi. Walaupun hari mulai gelap, kami masih bisa melihat dan berusaha mencari. Saya bertanya, "Masih ingat nggak ditaruh di mana?", kepada J, salah satu teman Nugrah. "J tadi taruh di dekat tangga", kata anak itu. Kami pun segera menuju ke tempat yang disebutkan oleh J.

"Nggak enak nih, jadi ngerepotin," kata ibu G sambil menggandeng anaknya. "Tapi mainan itu mainan kesayangannya, dia sampai merengek-rengek waktu minta mainan itu." "Nggak apa-apa kok, kataku, "biar anak-anak belajar bertanggung jawab juga."

Ketika tiba di tempat itu, kami langsung mencari dan akhirnya mainan itu ditemukan. G terlihat senang sekali, dan kami juga merasa lega. Akhirnya kami semua saling berpamitan dan pulang ke rumah masing-masing. 

Kejadian itu menjadi renungan bagi saya bahwa kesempatan untuk berempati dan saling membantu merupakan hal yang langka saat ini. Orang cenderung lebih suka sendiri dan merasa sungkan untuk meminta bantuan orang lain. Dunia sudah terkotak-kotak sehingga orang lebih suka berusaha sendiri dan yang lain tidak berani membantu walaupun mereka melihat orang itu sudah susah payah.

Peristiwa kemarin merupakan kesempatan bagi kami dan anak-anak untuk belajar berempati dan memberikan bantuan kepada teman yang sedang mengalami persoalan. Bersyukur kami bisa melakukannya dan mengikutsertakan anak-anak di dalamnya. Saya berharap kami bisa mendapat kesempatan lebih banyak untuk melakukan hal ini, bukan hanya kepada orang-orang yang kami kenal, tapi juga kepada orang lain.

Sumber gambar: di sini

Tuesday, June 4, 2013

Ekstraksi DNA

 Beberapa waktu lalu, kami menonton Festival STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics) di halaman Museum Geologi Bandung. Di sana banyak stand yang menarik, mulai dari stand astronomi, farmasi, biologi, robotik, sampai pertunjukan sains oleh Bapak Hizkia Achmad, salah satu dosen senior di jurusan Kimia ITB.

Salah satu stand yang kami kunjungi adalah Jurusan Biologi ITB. Di sana Kasih mendapat penjelasan tentang ekstraksi buah tomat untuk mengidentifikasi DNA-nya.

Terinspirasi oleh penjelasan itu, Kasih mencoba melakukan eksperimen sendiri untuk mengidentifikasi DNA. Step-step percobaan tersebut akan dijelaskan oleh Kasih dalam video berikut:

Monday, June 3, 2013

Anugrah Belajar Membaca

"Sini, Nug, kita belajar (membaca)," kata saya sambil mengambil sebuah buku pelajaran membaca. Anugrah, yang sedang bermain, datang mendekat. Dia melihat-lihat buku itu lalu berkata, "Nggak, ah!", sambil kembali ke permainannya. Kejadian itu kurang lebih satu tahun yang lalu, ketika Anugrah berusia lima tahun.

Kenapa saya berusaha mengajaknya belajar membaca? Salah satu alasan utama adalah karena kakaknya, Kasih, sudah bisa membaca pada umur tiga tahun. Mestinya dia juga sudah bisa, begitu menurut pikiran saya. Tapi ternyata dia bahkan tidak mau menyentuh buku itu.

Awalnya saya tidak memaksa untuk belajar membaca, tapi lama-lama khawatir juga. Kapan ni anak bisa membaca? Ibunya harus belajar sabar menunggu waktu anaknya tiba nih... heuheuheu..

Kalau mengenal huruf, dia sudah lama bisa, tapi mengeja, masih suka salah. Tiap hari masih minta dibacakan buku cerita, tapi tidak mau kalau disuruh belajar membaca.

Sampai suatu kali, setelah usianya enam tahun, dia mulai membuka sebuah buku dan mengeja. Buku yang mana? Ya, buku pelajaran membaca itu! Dia mengeja b-a 'ba', c-a 'ca', d-a 'da', dan seterusnya. Selanjutnya, dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia mulai membaca beberapa buku yang sederhana.

Sampai hari ini, pada usia enam setengah tahun, dia sudah membaca banyak buku. Kadang-kadang saya memintanya untuk membaca keras-keras. Kadang dia mau, tapi kadang juga menolak. Tidak apa-apa, pikirku, yang penting dia sudah bisa membaca.

Yah, waktu tiap anak untuk menguasai satu hal memang berbeda-beda, seperti juga orang dewasa. Yang terpenting ada keinginan untuk bisa, dan tidak pernah berhenti belajar setelah mengetahui dan menguasai satu kecakapan.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...