Ketika membaca 'Tantangan 30 Hari' dari Klub Oase, senang sekali rasanya. Pasti ada banyak hal baru yang diperoleh melalui tantangan ini. Ternyata isinya adalah membuat dokumentasi kegiatan anak-anak selama 30 hari, mulai tanggal 1 Agustus 2011. Dokumentasi yang dibuat adalah dalam bentuk foto/kolase.
Harapannya, dengan adanya kegiatan ini, orang tua semakin terdorong untuk mendokumentasikan kegiatan anak-anak mereka dalam bermain dan belajar. Selain itu, saya berharap semakin terbangun pemahaman orang tua terhadap anak-anak mereka, selain rasa sayang yang semakin mendalam terhadap anak-anak kita. Juga kreativitas orang tua meningkat dengan mencari kegiatan yang bermanfaat bagi anak setiap hari. Wah, banyak sekali manfaat yang bisa diperoleh dari tantangan ini.
Belum tahu apakah kami bisa melakukannya secara konsisten, tapi saya berharap dengan event ini kreativitas saya dan kemampuan anak-anak semakin terasah.
Info kegiatan: di sini
Sunday, July 31, 2011
Thursday, July 21, 2011
Belajar Tentang Biome dari Youtube
Kasih sedang belajar sains tentang biome-biome yang ada di dunia. Selain dari Classic Science, kami juga menonton beberapa video di youtube tentang biome. Berikut salah satu video yang ditonton oleh Kasih.
Mudah-mudahan bermanfaat buat menambah pengetahuan. :)
Mudah-mudahan bermanfaat buat menambah pengetahuan. :)
Deep Understanding
Salah satu teka-teki yang masih saya ingin tahu jawabannya sepanjang lebih dari 25 tahun menjadi pendidik adalah: mengapa anakanak kita kesulitan mengungkapkan isi pikirannya?
Maksud saya,kalau diberi pertanyaan, kok jawabannya pendek sekali dan ingin cepat-cepat selesai. Selain tidak argumentatif, terasa miskin dalam konsep.Di Harvard Michael Porter, guru besar ilmu manajemen terkemuka yang menularkan metode pengajaran partisipatif pernah memberi tahu resepnya.
”Ajukan cold call, tunjuk seseorang secara mendadak, lalu gali perlahan-lahan. Mereka mungkin kurang siap, tetapi buatlah sebersahabat mungkin agar mereka nyaman berbicara.” Saya pun menerapkannya, dan ternyata hanya berhasil di tingkat pendidikan S-2 dan S- 3. Di tingkat S-1, saya butuh waktu banyak sekali untuk menggali dan mengeluarkan isi pikiran mahasiswa saya.
Dan kalau dikejar lebih jauh, mereka menjawab seragam: ”Ya gitu deh!” Dan kalau sudah mentok, keluarkanlah jargon asyiknya: ”Au ah, gelaap…” Tetapi,saya tidak menyerah. Sampai di pertengahan semester, satu persatu mulai berani memberi jawaban yang agak panjang, lebih panjang, lebih menyatu, dan sistematis.
Dan tahukah Anda, di situlah letak kebahagiaan seorang pendidik, yaitu saat anak-anaknya mendapatkan apa yang disebut ”deep understanding”.
Hubungan Kompleks
Orang dewasa seperti bapak dan ibu yang telah lulus menjadi sarjana dan bekerja barangkali pernah merasakan betapa sulitnya memahami hubungan-hubungan yang kompleks dalam sebuah teori. Nah, kemampuan seorang anak menangkap hubungan-hubungan yang kompleks dalam sebuah teori atau konsep itulah yang kita sebut sebagai deep understanding.
Jadi bukan sekadar tahu banyak hal namun serbasedikit. Bukanlah sekadar menguasai permukaan-permukaan yang ngepop atau sekadar fragmented pieces of information. Deep understanding sangat diperlukan dalam dunia pendidikan, dan untuk itulah seorang guru dituntut untuk bersabar dan memeriksa apakah betul murid-muridnya sudah paham dan bisa mengerjakannya.
Pendidikan seperti itulah yang sebenarnya dirindukan anak-anak kita. Bukan seperti sekarang yang dikenal anakanak dengan istilah SKS (sistem kebut semalam). Guru-guru yang bijak tahu persis otak manusia memerlukan waktu untuk merangkai satu elemen dengan elemen-elemen lainnya.
Ibarat orang membuat kue lapis legit, dibuatnya harus dengan penuh kesungguhan, dari selapis tipis yang satu ke lapisan tipis berikutnya. Sebaliknya, metode sistem kebut satu malam yang banyak dianut dewasa ini sepertinya sangat mengabaikan kapasitas belajar para murid.Guru ingin cepat-cepat berpindah dari satu halaman ke halaman berikutnya.
Penjelasan-penjelasan mendasar sebuah konsep sering terputus,sehingga anak-anak kesulitan memahami suatu konsep secara mendalam. Cara seperti ini sungguh kejam. Ibarat sopir metromini atau taksi liar, guru bisa dipacu menjadi ”sopir tembak” yang ugal-ugalan ”kejar setoran”.
Tidak mengherankan bila menjelang ujian, guru, dan murid sama-sama panik. Guru-guru yang cerdik tentu tak kehilangan akal, digunakanlah dulu yang kita kenal sebagai ”jembatan keledai” saat ujian di SLTA dulu tentu mengerti mengapa disebut demikian. Guru dan murid telah kehilangan sesuatu yang sangat berarti dalam pendidikan, yaitu waktu. Kita tak bisa menyimpan waktu, apalagi membelinya.
Tetapi, kita tidak bisa memberi mereka waktu yang lebih banyak untuk pen-dalaman suatu konsep. Caranya sederhana saja, rampingkan jumlah mata ajaran yang harus diberikan dan berikan metode yang lebih aktif –kolaboratif.
Saya sering diprotes oleh orang-orang yang khawatir mata ajarnya tidak relevan lagi bila pemerintah kelak mendengarkan tulisan reflektif ini dengan mengurangi jumlah mata ajaran yang harus diambil para murid.Tetapi selalu saya katakan,kita harus berani berkata jujur bahwa anakanak kita telah mengalami penyiksaan otak yang rawan.
Dan dampaknya sudah kita rasakan saat ini dengan beredarnya orang-orang bergelar hebat, pintar, tahu banyak, tetapi selalu bingung harus bergerak ke mana dan harus memulai dari mana.
Kreatif dan Reflektif
Saat menulis kolom ini saya pun tengah membongkarbongkar program-program belajar dari berbagai sekolah di mancanegara. Bila disimak tulisan-tulisan saya dua minggu terakhir, perampingan-perampingan telah diambil sejumlah bangsa dalam beberapa tahun terakhir ini.
Di sebuah sekolah di Jepang, saya menemukan sebuah buku pedoman belajar dengan tujuh pilar, yaitu berpengetahuan dengan ”deep understanding”, mampu berpikir kompleks dan menjadi pemecah masalah,kreatif namun reflektif, menjadi kontributor yang bertanggung jawab, termotivasi dan terkendali, independen namun interdependen, dan mampu menjadi komunikator yang efektif.
Ketika saya masukkan katakata kunci di atas di mesin pencari di internet, saya pun menemukan kesamaan dari banyak sekolah di negara-negara maju bahwa melahirkan orang kreatif saja tidak cukup, tapi juga harus menjadi kontributor yang bertanggung jawab dan reflektif.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita membentuk manusia-manusia seperti itu? Anda mungkin mulai merasakan kegalauan- kegalauan saat orangorang kota yang sudah memiliki kendaraan (roda dua maupun roda empat) tidak bisa membedakan (bahkan tidak tahu cara memakai) antara klakson dengan rem.
Saat posisi di jalan raya kejepit atau tidak bisa menyusul, bukan rem yang dipijak, melainkan klakson. Saya tidak tahu apa jawaban yang harus diberikan untuk membuat seseorang menjadi hebat, tetapi mungkin saya tahu apa kunci kegagalan yang akan dialami bangsa ini.
Yaitu, saat kita merasa bangga dengan banyak pelajaran yang kita dapatkan, padahal semua itu hanya kulit-kulitnya.Hanya sepotong-sepotong, miskin pendalaman dan tidak reflektif.
RHENALD KASALI Ketua Program MM UI
Sumber berita: di sini
Sumber gambar: di sini
Maksud saya,kalau diberi pertanyaan, kok jawabannya pendek sekali dan ingin cepat-cepat selesai. Selain tidak argumentatif, terasa miskin dalam konsep.Di Harvard Michael Porter, guru besar ilmu manajemen terkemuka yang menularkan metode pengajaran partisipatif pernah memberi tahu resepnya.
”Ajukan cold call, tunjuk seseorang secara mendadak, lalu gali perlahan-lahan. Mereka mungkin kurang siap, tetapi buatlah sebersahabat mungkin agar mereka nyaman berbicara.” Saya pun menerapkannya, dan ternyata hanya berhasil di tingkat pendidikan S-2 dan S- 3. Di tingkat S-1, saya butuh waktu banyak sekali untuk menggali dan mengeluarkan isi pikiran mahasiswa saya.
Dan kalau dikejar lebih jauh, mereka menjawab seragam: ”Ya gitu deh!” Dan kalau sudah mentok, keluarkanlah jargon asyiknya: ”Au ah, gelaap…” Tetapi,saya tidak menyerah. Sampai di pertengahan semester, satu persatu mulai berani memberi jawaban yang agak panjang, lebih panjang, lebih menyatu, dan sistematis.
Dan tahukah Anda, di situlah letak kebahagiaan seorang pendidik, yaitu saat anak-anaknya mendapatkan apa yang disebut ”deep understanding”.
Hubungan Kompleks
Orang dewasa seperti bapak dan ibu yang telah lulus menjadi sarjana dan bekerja barangkali pernah merasakan betapa sulitnya memahami hubungan-hubungan yang kompleks dalam sebuah teori. Nah, kemampuan seorang anak menangkap hubungan-hubungan yang kompleks dalam sebuah teori atau konsep itulah yang kita sebut sebagai deep understanding.
Jadi bukan sekadar tahu banyak hal namun serbasedikit. Bukanlah sekadar menguasai permukaan-permukaan yang ngepop atau sekadar fragmented pieces of information. Deep understanding sangat diperlukan dalam dunia pendidikan, dan untuk itulah seorang guru dituntut untuk bersabar dan memeriksa apakah betul murid-muridnya sudah paham dan bisa mengerjakannya.
Pendidikan seperti itulah yang sebenarnya dirindukan anak-anak kita. Bukan seperti sekarang yang dikenal anakanak dengan istilah SKS (sistem kebut semalam). Guru-guru yang bijak tahu persis otak manusia memerlukan waktu untuk merangkai satu elemen dengan elemen-elemen lainnya.
Ibarat orang membuat kue lapis legit, dibuatnya harus dengan penuh kesungguhan, dari selapis tipis yang satu ke lapisan tipis berikutnya. Sebaliknya, metode sistem kebut satu malam yang banyak dianut dewasa ini sepertinya sangat mengabaikan kapasitas belajar para murid.Guru ingin cepat-cepat berpindah dari satu halaman ke halaman berikutnya.
Penjelasan-penjelasan mendasar sebuah konsep sering terputus,sehingga anak-anak kesulitan memahami suatu konsep secara mendalam. Cara seperti ini sungguh kejam. Ibarat sopir metromini atau taksi liar, guru bisa dipacu menjadi ”sopir tembak” yang ugal-ugalan ”kejar setoran”.
Tidak mengherankan bila menjelang ujian, guru, dan murid sama-sama panik. Guru-guru yang cerdik tentu tak kehilangan akal, digunakanlah dulu yang kita kenal sebagai ”jembatan keledai” saat ujian di SLTA dulu tentu mengerti mengapa disebut demikian. Guru dan murid telah kehilangan sesuatu yang sangat berarti dalam pendidikan, yaitu waktu. Kita tak bisa menyimpan waktu, apalagi membelinya.
Tetapi, kita tidak bisa memberi mereka waktu yang lebih banyak untuk pen-dalaman suatu konsep. Caranya sederhana saja, rampingkan jumlah mata ajaran yang harus diberikan dan berikan metode yang lebih aktif –kolaboratif.
Saya sering diprotes oleh orang-orang yang khawatir mata ajarnya tidak relevan lagi bila pemerintah kelak mendengarkan tulisan reflektif ini dengan mengurangi jumlah mata ajaran yang harus diambil para murid.Tetapi selalu saya katakan,kita harus berani berkata jujur bahwa anakanak kita telah mengalami penyiksaan otak yang rawan.
Dan dampaknya sudah kita rasakan saat ini dengan beredarnya orang-orang bergelar hebat, pintar, tahu banyak, tetapi selalu bingung harus bergerak ke mana dan harus memulai dari mana.
Kreatif dan Reflektif
Saat menulis kolom ini saya pun tengah membongkarbongkar program-program belajar dari berbagai sekolah di mancanegara. Bila disimak tulisan-tulisan saya dua minggu terakhir, perampingan-perampingan telah diambil sejumlah bangsa dalam beberapa tahun terakhir ini.
Di sebuah sekolah di Jepang, saya menemukan sebuah buku pedoman belajar dengan tujuh pilar, yaitu berpengetahuan dengan ”deep understanding”, mampu berpikir kompleks dan menjadi pemecah masalah,kreatif namun reflektif, menjadi kontributor yang bertanggung jawab, termotivasi dan terkendali, independen namun interdependen, dan mampu menjadi komunikator yang efektif.
Ketika saya masukkan katakata kunci di atas di mesin pencari di internet, saya pun menemukan kesamaan dari banyak sekolah di negara-negara maju bahwa melahirkan orang kreatif saja tidak cukup, tapi juga harus menjadi kontributor yang bertanggung jawab dan reflektif.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita membentuk manusia-manusia seperti itu? Anda mungkin mulai merasakan kegalauan- kegalauan saat orangorang kota yang sudah memiliki kendaraan (roda dua maupun roda empat) tidak bisa membedakan (bahkan tidak tahu cara memakai) antara klakson dengan rem.
Saat posisi di jalan raya kejepit atau tidak bisa menyusul, bukan rem yang dipijak, melainkan klakson. Saya tidak tahu apa jawaban yang harus diberikan untuk membuat seseorang menjadi hebat, tetapi mungkin saya tahu apa kunci kegagalan yang akan dialami bangsa ini.
Yaitu, saat kita merasa bangga dengan banyak pelajaran yang kita dapatkan, padahal semua itu hanya kulit-kulitnya.Hanya sepotong-sepotong, miskin pendalaman dan tidak reflektif.
RHENALD KASALI Ketua Program MM UI
Sumber berita: di sini
Sumber gambar: di sini
Monday, July 18, 2011
Baju Kesayanganku Kotor..!
Kasih pernah mengalami nose bleeding (mimisan) dan kebetulan beberapa tetesan mengenai blus kesayangannya. Dia sedih sekali, karena dia sangat suka dengan baju itu. Biasanya kalau baju-baju terkena noda akan sulit dibersihkan, apalagi noda darah.
Saya berpikir keras, lalu mencoba mencari informasi di Google tentang bagaimana menghilangkan noda pada pakaian. Ternyata ada! Salah satunya menyarankan untuk membasahi pakaian dengan air dan menempelkan garam ke bagian yang terkena noda darah, lalu dibiarkan selama beberapa menit sebelum dibilas dengan air bersih. Saya mencoba saran itu, dan hasilnya.. nodanya hilang! Betapa senang hati Kasih melihat blus itu bersih kembali, seperti baru!
Saya berpikir keras, lalu mencoba mencari informasi di Google tentang bagaimana menghilangkan noda pada pakaian. Ternyata ada! Salah satunya menyarankan untuk membasahi pakaian dengan air dan menempelkan garam ke bagian yang terkena noda darah, lalu dibiarkan selama beberapa menit sebelum dibilas dengan air bersih. Saya mencoba saran itu, dan hasilnya.. nodanya hilang! Betapa senang hati Kasih melihat blus itu bersih kembali, seperti baru!
Friday, July 15, 2011
Sekolah: Benarkah Makin Berat, Makin Hebat?
Benarkah Makin Berat, Makin Hebat?
Sebagian besar pembaca mungkin dibesarkan dalam kultur ekonomi sulit, sehingga kaya berbagai peribahasa, seperti: hemat pangkal kaya dan rajin pangkal pandai. Kita bermain layang-layang, menangkap belut,bermain bersama anak-anak kampung dengan tiada henti canda, tawa,dan keringat.
Bagaimana anak-anak sekarang? Lahan kosong berganti menjadi kebun sawit atau perumahan mewah.Tak ada lagi lapangan badminton, arena bermain layang-layang dan air yang mengalir bening. Tapi anak-anak punya mainan baru, Facebook,Twitter,Online Games, warung internet,dan bimbingan belajar.
Pergaulan fisik diganti dunia maya, statistik, dan ilmu berhitung diganti kalkulator dan software. Dulu kita hanya belajar sembilan mata pelajaran, sehingga masih banyak waktu untuk bermain. Bagaimana anak-anak kita? Bukannya dikurangi, melainkan semakin hari yang dipaksakan masuk ke dalam otak anak-anak kita semakin banyak.
Sementara di Selandia Baru dan banyak negara maju anakanak sekolah hanya mengambil enam mata pelajaran. Ketika mereka menganut spirit ”The Power of Simplicity”, kita justru tenggelam dalam spirit benang kusut, ”kalau terlalu mudah, tidak akan melahirkan kehebatan”.
Bukan hanya itu, di banyak negara, selain dirampingkan, mata ajar wajib juga dibatasi hanya dua, selebihnya dijadikan pilihan yang dikaitkan karier. Bagaimana di sini? Mata ajar yang banyak itu adalah mata ajar yang ”sakral”, wajib diambil semuanya. Kesakralan itu sesungguhnya hanya semu, karena mata ajar agama disamakan dengan berhitung dan sejarah ala kita, yaitu ala hafal-hafalan.
Ubah Cara Pandang
Namun, sewaktu saya bercerita bagaimana sekolah di Belanda, China, dan Selandia baru,ada juga orangtua yang protes. Mereka tak menginginkan sekolahnya dibuat lebih mudah. ”Sekolah itu memang harus sulit dan anak-anak harus berjuang”. Saya dapat mengerti pandangan ini, karena anaknya termasuk cerdas, tuntas semua mata pelajaran dengan nilai tinggi.
Namun, saya kurang mengerti bagaimana orang tua rela menyita seluruh waktu masa muda anaknya hanya untuk belajar. Mendidik bukanlah untuk melahirkan orang-orang yang tahu semua, tapi selalu bertanya, ”Saya harus melakukan apa?” Ini adalah realita, semakin banyak ditemui orang tak bisa bekerja dengan prioritas.
Saya juga kurang mengerti kalau pendidik kurang memahami bahwa talenta dan leadership merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan hidup.Untuk itulah, talenta harus diasah, diberi ruang,dan waktu agar ia tumbuh.Leadership maupun entrepreneurship diasah dari keseharian di luar bangku sekolah. Diuji dalam interaksi kehidupan.
Tentu saya bertanya-tanya kalau pendidikan kita dibuat lebih ramping, apakah benar menjadi lebih baik.Saya selalu teringat masa-masa memulai karier sebagai penguji di program S-3.Saat seorang tua,kandidat doktor diuji, yang mengajukan pertanyaan ada 13 orang hebat.
Namanya juga orang hebat, pertanyaannya pasti sulit bagi seorang pemula. Tetapi semua penguji tidak puas, kandidat digoreng ke kiri, di-ongseng ke kanan hingga nyaris hangus. Di ruang rapat semua menyatakan tidak puas.Sebagai doktor muda yang baru kembali dari sekolah doktor, saya tak punya suara yang berarti. Saya hanya bertanya, ”Beginikah cara Bapak-Bapak menguji seorang calon doktor?”
Semua orang terdiam, dan saya pun terkejut dengan pertanyaan saya. Beberapa orang menatap tajam, karena mereka adalah mantan guru-guru saya dan terkenal di hadapan publik.Karena malu telah berkata- kata bodoh,saya teruskan saja berkata jujur. Saya katakan kita harus percaya diri.
Ujian dengan penguji sebanyak ini menunjukkan kita kurang pede. Lagi pula tak ada yang bisa lulus dengan ujian seperti ini.Semua dosen hanya marah-marah karena kepintarannya tak dimengerti orang lain, dan memberi saran yang saling bertentangan. Saya pun mengatakan, andaikan saya yang diuji di sini, saya berani jamin saya pun tidak akan lulus.
Pertanyaan ujian terlalu luas.Di Amerika Serikat,kita hanya diuji oleh empat orang pembimbing, dan bila kita bingung, kita tidak dibantai, malah dibantu. Di SLTA negara-negara maju,jumlah mata ajar memang ramping,tetapi sejak remaja mereka sudah biasa membuat makalah dengan kedalaman referensi dan terbiasa bekerja dengan metode ilmiah.
Demikianlah persekolahan kita. Bukannya disederhanakan, justru dibuat menjadi lebih kompleks. Semua mata ajar kita anggap sakral. Buku ditambah. Subjek ditambah. Guru juga ditambah. Saya kadang tak habis berpikir, bagaimana kita bisa menghasilkan kehebatan dari keribetan ini.
Saya tentu tak akan protes kalau dengan sekolah yang ditempa kesulitan ini, kita bisa pergi ke bulan. Fakta menunjukkan sebaliknya. Tidakkah kita bertanya, jangan-jangan ada yang tidak beres dengan kurikulum persekolahan kita? Saya juga bertanya-tanya, akankah anak-anak dididik dengan baik kalau hanya belajar enam mata pelajaran seperti di Selandia Baru, Denmark, atau negara-negara industri lainnya?
Namun, fakta yang saya temui ternyata pendidikan yang hanya fokus pada enam mata pelajaran itu menempatkan pendidikan Selandia Baru terbaik ke enam di dunia.Rasanya di sana juga tak ada siswa yang kesurupan saat ujian, apalagi contekan massal. Perlukah kita meremajakan cara berpikir kita?
RHENALD KASALI Ketua Program MM UI
Sumber berita: di sini
Sumber gambar: di sini
Bayanganku Terbalik? (Belajar di Meja Makan)
Belajar di meja makan kali ini adalah tentang cermin. Secara tidak sengaja, Kasih bercermin pada bagian cekung sendok stainless steel yang dipakainya untuk makan, lalu dia berseru, "Bunda, bayanganku terbalik." Lalu dia bercermin pada bagian belakang sendok, dan ternyata bayangannya tidak terbalik. Anugrah juga mencobanya, dan ternyata hasilnya sama :)).
Belajar tidak hanya ketika duduk di bangku sekolah, di mana saja kita bisa belajar, demikian juga anak-anak. Belajar tidak harus membaca dan menghafal buku teks, tetapi bisa dilakukan dengan fun dan tetap melekat di pikiran anak-anak.
Belajar tidak hanya ketika duduk di bangku sekolah, di mana saja kita bisa belajar, demikian juga anak-anak. Belajar tidak harus membaca dan menghafal buku teks, tetapi bisa dilakukan dengan fun dan tetap melekat di pikiran anak-anak.
Thursday, July 14, 2011
Acara Belajar Bersama 10 Juli 2011
Komunitas homeschooling Belajar Bersama, itulah nama komunitas kami, yang terdiri atas beberapa keluarga homeschooler. Kami mengadakan pertemuan rutin dua kali sebulan, dengan berbagai kegiatan yang melibatkan semua orang (baik anak-anak maupun orang tua).
Hari Minggu tanggal 10 Juli 2011 yang lalu, kami mengadakan acara kumpul bersama di rumah keluarga mbak Maya Pujiati di Tanjung Sari. Karena beberapa kendala, kami tidak dapat datang bersamaan.
Di Tanjung Sari kami disambut dengan hangat oleh keluarga Pak Nilna Iqbal dan mbak Maya Pujiati dan disuguhi berbagai kudapan lokal yang sedap.. ^_^ yang dimasak sendiri oleh tuan rumah. Selanjutnya kegiatan pertama adalah belajar membuat kerajinan tangan dari bahan daun kelapa. Anak-anak belajar membuat keris/pedang-pedangan, yang diajarkan langsung oleh ibunda mbak Maya. Orang tua tidak mau kalah, juga belajar membuat sarang leupeut dan ketupat (termasuk para bapak-bapak juga loh ;p).
Setelah makan siang, kami memulai perjalanan menyusuri daerah Tanjung Sari dengan berjalan kaki melewati rumah-rumah, kebun dan sawah. Anak-anak terlihat begitu bersemangat, sementara orang tua kelelahan berusaha menyamakan langkah dengan anak-anak yang sudah berjalan di depan. Kami sempat 'tersesat' di sawah ketika mencari jalan pulang, tetapi dengan bantuan penduduk akhirnya kami berhasil menemukan sungai yang kami lewati sebelumnya. Ternyata sungai tersebut dangkal, dan ada pancuran dan batu-batuan, yang membuat anak-anak begitu gembira sehingga kami 'terpaksa' tinggal agak lama di sana.
Setelah tiba kembali di rumah mbak Maya, anak-anak bergantian membersihkan diri setelah ber'basah ria' di sungai, sambil bermain tebak-tebakan. Hari sudah hampir malam, tetapi anak-anak masih ingin bermain. Meskipun anak-anak merasa berat hati, akhirnya kami berpamitan dengan keluarga Tanjung Sari untuk kembali ke tempat masing-masing. Sampai bertemu kali lain ya...
Friday, July 8, 2011
Membuat Play Dough
"Bunda, bikinkan play dough," pinta Anugrah suatu hari. Beberapa waktu yang lalu Anugrah diajak temannya bermain dengan lilin mainan (malam) yang bisa dibuat berbagai macam bentuk. Sebenarnya kami sudah sering membuat play dough, tetapi play dough tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi karena kering. Karenanya hari itu kami membuatnya lagi.
Resep play dough yang kami buat adalah:
- Tepung terigu (protein tinggi) 1 cup
- Garam 1/2 cup
- Air 1 cup
- Minyak goreng 1 tbsp
- Cream of Tartar 1/2 tbsp (optional)
- Pewarna makanan secukupnya
Cara membuat:
1. Campur tepung terigu, garam, minyak goreng, dan cream of tartar.
2. Masukkan air sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga rata.
3. Masak adonan di atas api kecil sambil diaduk sampai berubah menjadi seperti adonan donat.
4. Angkat adonan dan bagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan jumlah pewarna yang ingin ditambahkan.
5. Campur pewarna ke dalam salah satu adonan dan uleni dengan tangan sampai kalis (tidak lengket di tangan). Lakukan hal yang sama dengan adonan yang lain, dengan warna yang berbeda-beda.
6. Play dough siap dipakai :)
7. Simpan di wadah yang kedap udara. Play dough ini akan tahan selama beberapa bulan.
Labels:
4 tahun,
8 tahun,
Aktivitas,
Anugrah,
craft,
homeeducation,
Homeschool,
Kasih,
playdough,
prakarya
Membuat Donat
"Mau bikin donat?" tanya saya kepada anak-anak suatu hari. "Mau, Bunda," jawab Kasih. Kami memilih untuk membuat donat kentang. Bahan-bahan sudah tersedia kecuali minyak goreng. Karena minyak merupakan kebutuhan yang terakhir, kami mempersiapkan adonan terlebih dulu sebelum membeli minyak. Bahan-bahan yang dibutuhkan adalah:
- Tepung terigu protein tinggi 500 gram
- Ragi instan 1 bungkus
- Kentang 250gram, dikukus dan dihaluskan
- Gula pasir 100 gram
- Kuning telur 3 butir
- Margarin 100 gram
- Garam 1 sendok teh
- Susu bubuk
- Air dingin 100 ml
- Muisjes (choco-rice)
- Minyak goreng untuk menggoreng
Cara membuat:
1. Campur tepung terigu, ragi instan, gula pasir, susu bubuk, dan garam.
2. Masukkan kuning telur, margarin dan garam, lalu diaduk dengan sendok atau tangan.
3. Masukkan kentang yang sudah dihaluskan, lalu diuleni dengan tangan sampai kalis.
4. Tutup adonan dengan kain basah selama beberapa waktu (kurang lebih 30 menit)
5. Bentuk adonan menjadi bentuk donat (atau sesuai selera)
6. Goreng di dalam minyak panas sampai kuning keemasan.
7. Oleskan margarin dan taburi muisjes.
Kasih membentuk salah satu donatnya seperti bunga, lalu mengisinya dengan muisjes dan kemudian menggorengnya. Hasilnya seperti ini:
- Tepung terigu protein tinggi 500 gram
- Ragi instan 1 bungkus
- Kentang 250gram, dikukus dan dihaluskan
- Gula pasir 100 gram
- Kuning telur 3 butir
- Margarin 100 gram
- Garam 1 sendok teh
- Susu bubuk
- Air dingin 100 ml
- Muisjes (choco-rice)
- Minyak goreng untuk menggoreng
Cara membuat:
1. Campur tepung terigu, ragi instan, gula pasir, susu bubuk, dan garam.
2. Masukkan kuning telur, margarin dan garam, lalu diaduk dengan sendok atau tangan.
3. Masukkan kentang yang sudah dihaluskan, lalu diuleni dengan tangan sampai kalis.
4. Tutup adonan dengan kain basah selama beberapa waktu (kurang lebih 30 menit)
5. Bentuk adonan menjadi bentuk donat (atau sesuai selera)
6. Goreng di dalam minyak panas sampai kuning keemasan.
7. Oleskan margarin dan taburi muisjes.
Kasih membentuk salah satu donatnya seperti bunga, lalu mengisinya dengan muisjes dan kemudian menggorengnya. Hasilnya seperti ini:
Thursday, July 7, 2011
Sekolah untuk Apa?
Beberapa hari ini kita membaca berita betapa sulitnya anak-anak mencari sekolah.Masuk universitas pilihan susahnya setengah mati. Kalaupun diterima, bak lolos dari lubang jarum. Sudah masuk ternyata banyak yang ”salah kamar”.
Sudah sering saya mengajak dialog mahasiswa yang bermasalah dalam perkuliahan, yang begitu digali selalu mengatakan mereka masuk jurusan yang salah. Demikianlah, diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) masalah, tidak diterima juga masalah. Kalau ada uang bisa kuliah di mana saja.
Bagaimana kalau uang tak ada? Hampir semua orang ingin menjadi sarjana, bahkan masuk program S-2. Jadi birokrat atau jenderal pun sekarang banyak yang ingin punya gelar S- 3. Persoalan seperti itu saya hadapi waktu lulus SMA, 30 tahun lalu, dan ternyata masih menjadi masalah hari ini.
Sekarang, memilih SMP dan SMA pun sama sulitnya. Mengapa hanya soal memindahkan anak ke sekolah negeri lain saja lantaran pindah rumah biayanya begitu besar? Padahal bangku sekolah masih banyak yang kosong. Masuk sekolah susah, pindah juga sulit, diterima di perguruan tinggi untung-untungan, cari kerja susahnya minta ampun.
Lengkap sudah masalah kita. Kalau kita sepakat sekolah adalah jembatan untuk mengangkat kesejahteraan dan daya saing bangsa, mengapa dibuat sulit? Lantas apa yang harus dilakukan orang tua? Jadi sekolah untuk apa di negeri yang serbasulit ini?
Kesadaran Membangun SDM
Lebih dari 25 tahun yang lalu, saat berkuasa, Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad sadar betul pentingnya pembangunan sumber daya manusia (SDM). Dia pun mengirim puluhan ribu sarjana mengambil gelar S-2 dan S-3 ke berbagai negara maju.
Hal serupa juga dilakukan China. Tidak sampai 10 tahun,lulusan terbaik itu sudah siap mengisi perekonomian negara. Hasilnya Anda bisa lihat sekarang. BUMN di negara itu dipimpin orang-orang hebat, demikian pula perusahaan swasta dan birokrasinya. Perubahan bukan hanya sampai di situ.
Orang-orang muda yang kembali ke negerinya secara masif me-reform sistem pendidikan. Tradisi lama yang terlalu kognitif dibongkar. Old ways teaching yang terlalu berpusat pada guru dan papan tulis,serta peran brain memory (hafalan dan rumus) yang dominan mulai ditinggalkan.
Mereka membongkar kurikulum, memperbaiki metode pengajaran, dan seterusnya.Tak mengherankan kalau sekolahsekolah di berbagai belahan dunia pun mulai berubah. Di negeri Belanda saya sempat terbengong-bengong menyaksikan bagaimana universitas seterkenal Erasmus begitu mudah menerima mahasiswa.
”Semua warga negara punya hak untuk mendapat pendidikan yang layak, jadi mereka yang mendaftar harus kami terima,” ujar seorang dekan di Erasmus. Beda benar dengan universitas negeri kita yang diberi privilege untuk mencari dan mendapatkan lulusan SLTA yang terbaik.
Seleksinya sangat ketat. Lantas bagaimana membangun bangsa dari lulusan yang asal masuk ini? ”Mudah saja,” ujar dekan itu. ”Kita potong di tahun kedua. Masuk tahun kedua, angka drop out tinggi sekali. Di sinilah kita baru bicara kualitas, sebab walaupun semua orang bicara hak, soal kemampuan dan minat bisa membuat masa depan berbeda,”ujarnya.
Hal senada juga saya saksikan hari-hari ini di Selandia Baru. Meski murid-murid yang kuliah sudah dipersiapkan sejak di tingkat SLTA, angka drop out mahasiswa tahun pertama cukup tinggi.Mereka pindah ke politeknik yang hanya butuh satu tahun kuliah. Yang lebih mengejutkan saya adalah saat memindahkan anak bersekolah di tingkat SLTA di Selandia Baru.
Sekolah yang kami tuju tentu saja sekolah yang terbaik, masuk dalam 10 besar nasional dengan fasilitas dan guru yang baik. Saya menghabiskan waktu beberapa hari untuk mewawancarai lulusan sekolah itu masing-masing, ikut tour keliling sekolah, menanyakan kurikulum dan mengintip bagaimana pelajaran diajarkan.
Di luar dugaan saya,pindah sekolah ke sini pun ternyata begitu mudah. Sudah lama saya gelisah dengan metode pembelajaran di sekolah-sekolah kita yang terlalu kognitif, dengan guruguru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai ratarata di atas 80 (betapapun stresnya mereka) dan sebaliknya memandang rendah terhadap murid aktif, namun tak menguasai semua subjek.
Potensi anak hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengopi isi buku dan catatan. Entah di mana keguruan itu muncul kalau sekolah tak mengajarkan critical thinking. Kita mengkritik lulusan yang biasa membebek, tapi tak berhenti menciptakan bebek-bebek dogmatik.
Kalau lulusannya mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri,mungkin guruguru kita akan menganggap sekolahnya begitu bagus. Mohon maaf, ternyata tidak demikian. Jangankan dibaca, diminta transkrip nilainya pun tidak. Maka jangan heran, anak dari daerah terpencil pun di Indonesia, bisa dengan mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri.
Bahkan tanpa tes. Apa yang membuat demikian? ”Undang-undang menjamin semua orang punya hak yang sama untuk belajar,” ujar seorang guru di Selandia Baru. Lantas, bukankah kualitas lulusan ditentukan input-nya? ”Itu ada benarnya, tapi bukan segala-galanya,” ujar putra sulung saya yang kuliah di Auckland University tahun ketiga.
Maksudnya,tes masuk tetap ada,tetapi hanya dipakai untuk penempatan dan kualifikasi. Di tingkat SLTA, mereka hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib (compulsory) yaitu Matematika dan Bahasa Inggris. Pada dua mata pelajaran ini pun mereka punya tiga kategori: akselerasi, rata-rata, dan yang masih butuh bimbingan.
Sekolah dilarang hanya menerima anakanak bernilai akademik tinggi karena dapat menimbulkan guncangan karakter pada masa depan anak, khususnya sifat-sifat superioritas, arogansi, dan kurang empati. Mereka hanya super di kedua kelas itu, di kelas lain mereka berbaur.
Dan belum tentu superior di kelas lain karena pengajaran tidak hanya diberikan secara kognitif. Selebihnya, hanya ada empat mata pelajaran pilihan lain yang disesuaikan dengan tujuan masa depan masingmasing. Bagi mereka yang bercita- cita menjadi dokter, biologi dan ilmu kimia wajib dikuasai.
Bagi yang akan menjadi insinyur wajib menguasai fisika dan kimia. Sedangkan bagi yang ingin menjadi ekonom wajib mendalami accounting, statistik,dan ekonomi. Anak-anak yang ingin menjadi ekonom tak perlu belajar biologi dan fisika. Beda benar dengan anak-anak kita yang harus mengambil 16 mata pelajaran di tingkat SLTA di sini, dan semuanya diwajibkan lulus di atas kriteria ketuntasan minimal (KKM).
Bayangkan, bukankah citacita pembuat kurikulum itu orangnya hebat sekali? Mungkin dia manusia super.Seorang lulusan SLTA tahun pertama harus menguasai empat bidang sains (biologi,ilmu kimia, fisika, dan matematika), lalu tiga bahasa (Bahasa Indonesia, Inggris, dan satu bahasa lain), ditambah PPKN, sejarah, sosiologi, ekonomi, agama, geografi, kesenian, olahraga, dan komputer.
Hebat sekali bukan? Tidak mengherankan kalau sekolah menjadi sangat menakutkan, stressful, banyak korban kesurupan, terbiasa mencontek, dan sebagainya. Harus diakui kurikulum SLTA kita sangat berat. Seperti kurikulum program S-1 20 tahun lalu yang sejajar dengan program S-1 yang digabung hingga S-3 di Amerika.
Setelah direformasi, kini anak-anak kita bisa lulus sarjana tiga tahun. Padahal dulu butuh lima tahun. Dulu program doktor menyelesaikan di atas 100 SKS, sehingga hampir tak ada yang lulus. Kini seseorang bisa lulus doktor dalam tiga tahun. Anda bisa saja mengatakan, dulu kita juga demikian, tapi tak ada masalah kok!
Di mana masalahnya? Masalahnya, saat ini banyak hal telah berubah. Teknologi telah mengubah banyak hal, anakanak kita dikepung informasi yang lebih bersifat pendalaman dan banyak pilihan, tapi datang dengan lebih menyenangkan. Belajar bukan hanya dari guru, melainkan dari segala resources.
Ilmu belajar menjadi lebih penting dari apa yang dipelajari itu sendiri,sehingga diperlukan lebih dari seorang pengajar, yaitu pendidik. Guru tak bisa lagi memberikan semua isi buku untuk dihafalkan, tetapi guru dituntut memberikan bagaimana hidup tanpa guru, lifelong learning.
Saya saksikan metode belajar telah jauh berubah. Seorang guru di West Lake Boys School di Auckland mengatakan, ”Kami sudah meninggalkan old ways teaching sejak 10 tahun lalu. Maka itu, sekolah sekarang harus memberikan lebih banyak pilihan daripada paksaan. Percuma memberi banyak pengetahuan kalau tak bisa dikunyah. Guru kami ubah,metode diperbarui,fasilitas baru dibangun,” ujar seorang guru.
Masih banyak yang ingin saya diskusikan,tapi sampai di sini ada baiknya kita berefleksi sejenak. Untuk apa kita menciptakan sekolah dan untuk apa kita bersekolah? Mudahmudahan kita bisa mendiskusikan lebih dalam minggu depan dan semoga anak-anak kita mendapatkan masa depan yang lebih baik.
RHENALD KASALI Ketua Program MM UI
Sumber berita: di sini
Sumber gambar: http://tiny.cc/ttjmc
Subscribe to:
Posts (Atom)